Industri makanan-minuman (mamin) kembali dihadapkan oleh tantangan kenaikan harga gula rafinasi dalam beberapa waktu terakhir. Para produsen mamin pun mesti memutar otak demi menjaga kinerja bisnisnya.
Dalam berita sebelumnya, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) sempat menyebut bahwa harga gula rafinasi diperkirakan telah melonjak hingga 30%, sehingga mempengaruhi kelangsungan produksi mamin nasional.
Ketika dikonfirmasi kembali, Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan, kenaikan harga gula rafinasi sejalan dengan pergerakan harga gula mentah dunia. Meski sedikit menurun sejak bulan Mei 2023, tetap saja harga gula dunia saat ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Gapmmi menilai, produsen mamin besar biasanya sudah memiliki cadangan stok gula rafinasi yang mencukupi. Mereka juga biasanya sudah menjalin kontrak jangka panjang dengan pihak penyuplai, sehingga dampak kenaikan harga gula rafinasi dapat diminimalisasi.
Produsen mamin besar cenderung lebih konservatif dalam menentukan harga jual produk ke konsumen. Jikalau harus melakukan penyesuaian harga akibat mahalnya harga gula rafinasi, produsen harus bernegosiasi dengan para distributor dan peritel dengan mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat.
Selain mengerek harga, opsi lain yang bisa ditempuh produsen adalah menyesuaikan ukuran produk atau mencari sumber alternatif pemanis lainnya.
Sementara itu, PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co Tbk (ULTJ) mengaku porsi penggunaan gula rafinasi terhadap produk minumannya hanya 6%. Namun, ULTJ tetap mewaspadai tren kenaikan harga komoditas tersebut. Manajemen ULTJ senantiasa memantau kondisi pasar gula dunia dan selalu berusaha membeli bahan baku pada saat harga rendah.
PT Siantar Top Tbk (STTP) juga bilang tidak memakai gula rafinasi dalam porsi yang besar. Sebagian besar bahan baku makanan ringan STTP adalah tepung terigu dan kentang. Walau begitu, lonjakan harga gula rafinasi bisa menjadi alarm bagi kelangsungan bisnis STTP jika terjadi terus-terusan.
Sumber: Kontan