Harga komoditas logam industri masih sulit bergerak naik di tengah ancaman resesi global. Nikel mengalami koreksi harga cukup dalam di sepanjang tahun ini.
Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono menjelaskan, pembukaan kembali aktivitas pasca-pandemi covid-19 menjadi pendukung utama harga logam industri. Ancaman inflasi, agresivitas The Fed dan penguatan dolar Amerika Serikat (AS) mulai mereda. Faktor konflik geopolitik sedikit banyaknya juga berpengaruh pada harga logam industri, tetapi bisa diantisipasi.
Hanya saja, ancaman negatif resesi global masih kuat. Data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) baru-baru ini terpantau masih mengecewakan yang menyebabkan harga komoditas logam industri terancam dan sulit untuk bullish. Hanya data non-farm payroll (NFP) AS yang masih bisa menambahkan sebesar 236.000 pekerjaan di Maret 2023, dibanding 326.000 pekerjaan pada bulan Februari 2023.
Wahyu menyoroti, satu faktor lebih lanjut yang mendukung harga aluminium adalah risiko penerapan sanksi pemerintah AS terhadap perusahaan aluminium Rusia seperti Rusal. Adanya larangan impor produk aluminium Rusia sebagai bentuk kecaman invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai sejak 2022 lalu.
Di saat negara Barat terus menghindari aluminium Rusia, China tetap menjadi pembeli yang bersemangat. Bahkan, impor aluminium China dari Rusia meningkat hampir tiga kali lipat, dengan data pabean yang menunjukkan impor melonjak lebih dari 266% selama Januari dan Februari 2023.
Secara historis, Rusia mewakili pemasok kunci untuk Tiongkok. Pada tahun 2022, Rusia menyumbang 69% dari total impor aluminium primer ke Tiongkok. Peningkatan terbaru ini masih terjadi pada saat sektor aluminium China sebenarnya melambat akibat kekurangan air yang parah.
Industri konstruksi dan otomotif China sebagian besar masih akan mendorong permintaan aluminium. Tetapi, waspadai pelemahan ekonomi China berpotensi menekan harga aluminium nantinya. Wahyu menuturkan, faktor China memang sangat krusial bagi logam industri. Harga tembaga juga terkait erat dengan ekonomi China karena negeri tirai bambu mengonsumsi lebih dari setengah volume dunia.
Sumber: Kontan