Pengusaha batu bara dalam negeri menilai terhentinya produksi tambang dengan potensi 50 juta ton batu bara di China tak akan banyak memengaruhi harga.
Bloomberg melaporkan China menghentikan operasi 32 tambang batu bara yang berlokasi di Mongolia Dalam usai terjadinya kecelakaan maut pada Februari lalu. Tambang-tambang tersebut memiliki kapasitas produksi gabungan sebesar 26,55 juta ton per tahun, dengan 23,55 juta ton ekspansi yang telah disetujui.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai berkurangnya produksi batu bara China tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap batu bara Indonesia yang mayoritas merupakan jenis batu bara termal. Menurutnya, dalam jangka pendek harga batu bara termal diperkirakan masih akan terkoreksi.
Berdasarkan data yang dihimpun APBI, produksi China yang terdampak itu umumnya merupakan batu bara kalori tinggi, yakni batu bara metalurgi atau coking coal yang jarang di Indonesia. Batu bara jenis ini banyak digunakan oleh pabrik baja yang memiliki kandungan abu, kelembaban, belerang dan fosfor yang rendah. Produk utama dari batu bara jenis ini adalah kokas yang banyak dihasilkan Australia hingga Rusia.
Sementara itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, sebagian pelaku usaha masih mengkaji potensi tambahan ekspor ke China dalam beberapa waktu mendatang. Hanya saja, kata Singgih, belum jelas spesifikasi batu bara China yang berpotensi hilang.
Sumber: Bisnis