PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) menganggap kondisi keuangannya sudah jauh membaik setelah restrukturisasi dilakukan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak 2020 lalu telah membawa industri penerbangan jatuh ke titik terendahnya sepanjang sejarah. Garuda pun turut terkena imbas.
Perseroan dihadapkan oleh serangkaian masalah, seperti utang yang membengkak hingga US$ 10,1 miliar dan ekuitas negatif mencapai US$ 5,3 miliar pada 2021. Pada periode yang sama, Garuda mengalami penurunan pendapatan dan trafik penumpang 90%, serta 70% pesawat Garuda terpaksa tidak beroperasi akibat efek pandemi dan masalah keuangan internal.
Proses restrukturisasi melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dilakukan oleh Garuda sejak 2021 lalu dengan melibatkan lebih dari 800 pihak kreditur yang meliputi institusi pemerintahan, BUMN dan afiliasinya, perbankan, lessor, pabrikan pesawat, dan lain-lain. Negosiasi terus dilakukan oleh Garuda dengan para krediturnya di tengah keterbatasan waktu.
Lantas, pada 17 Juni 2022, kreditur melaksanakan voting PKPU Garuda Indonesia yang hasilnya 347 kreditur (95,07%) dengan nilai klaim Rp 122 triliun yang mewakili 12,2 juta total suara (97,46%) menyetujui perjanjian perdamaian Garuda Indonesia. Akhirnya, pada 27 Juni 2022 lalu, perjanjian perdamaian PKPU Garuda Indonesia dinyatakan homologasi. Berkat restrukturisasi, nilai utang Garuda Indonesia menyusut sekitar 50% dari US$ 10,1 miliar menjadi US$ 5,1 miliar.
Sumber: Kontan